Topik Hari ini GOKIEL ABIEZ Yaitu mengenai": Tanggal 17 Agustus kemarin kita memperingati Hari Kemerdekaan Ke-64 Indonesia. Peringatan ini mengacu pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, di rumah Bung Karno. Di teras depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 itulah Bung Karno, didampingi Bung Hatta, mengumumkan kepada dunia kemerdekaan Indonesia.
Di Pegangsaan Timur 56, kala itu, Presiden Soekarno meletakkan karangan bunga di Tugu Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1957. Di belakang Tugu Proklamasi itu masih tampak gedung bersejarah tersebut.
Sayangnya, rumah di Jalan Pegangsaan Timur itu—sekarang Jalan Proklamasi—sudah tidak ada lagi. Presiden Soekarno membongkar sendiri bangunan yang disebut Gedung Proklamasi itu pada 1960.
Bung Karno tinggal di rumah itu sejak awal zaman Jepang, tahun 1942. Ia tinggal di sana hingga awal Januari 1946. Setelah itu, Bung Karno, juga Bung Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden, mengungsi dan tinggal di Yogyakarta karena keadaan di Jakarta makin genting akibat masuknya pasukan NICA yang diboncengi tentara Belanda yang mau berkuasa lagi di Indonesia. Rumah itu selanjutnya ditempati Sutan Sjahrir. Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI sering ulang-alik Jakarta-Yogyakarta.
Ada kisah menarik kenapa Bung Karno sampai tinggal di Jalan Pegangsaan Timur. Menurut pengamat bangunan cagar budaya Jakarta, Bambang Eryudhawan, waktu itu Bung Karno sebenarnya ingin juga memiliki rumah di daerah Menteng, seperti para pemimpin nasional lain. Mereka langsung menempati rumah-rumah di daerah elite itu setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang.
Namun, Bung Karno terlambat datang di Jakarta dari Bengkulu, tempat dia dibuang Belanda. Sementara para pemimpin perjuangan kemerdekaan lain sudah berada di Jakarta saat Belanda menyerah pada bulan Maret, Bung Karno dan Bu Fat (Fatmawati) baru tiba di Ibu Kota pada bulan Juli. Ia tak kebagian rumah di Menteng dan harus puas dengan jatah rumah di Jalan Pegangsaan Timur, yang berada sedikit di luar wilayah Menteng. ”Namun, Bung Karno tak pernah menyatakan kekecewaannya. Ia bilang, ia senang dengan rumah itu karena punya halaman yang luas,” papar Bambang yang arsitek.
Sebelumnya, rumah itu milik warga keturunan Belanda bernama Baron van Asbeck yang mungkin ikut ditawan Jepang. Pada masa akhir zaman kolonial, di rumahnya itu Baron van Asbeck konon sempat menerima indekos, mondok, beberapa mahasiswa Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Muhammad Yamin yang kemudian juga jadi tokoh perintis kemerdekaan.
Jo Masdani, perempuan pejuang kemerdekaan, pernah mengatakan, ia masih ingat waktu kecil sering bermain-main di halaman rumah itu bersama teman-teman sepulang sekolah. ”Orang Belanda penghuninya tidak pernah melarang dan membiarkan kami bermain-main di sana,” kata Jo Masdani dalam salah satu wawancaranya dengan Kompas pada tahun 1976.
Tugu Petir dan Gedung Pola
Saat hadir dalam sidang pleno istimewa Dewan Perancang Nasional (Depernas), 13 Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan kehendaknya mendirikan Tugu Proklamasi di titik tempat Soekarno-Hatta berdiri saat memproklamasikan kemerdekaan. Untuk itu, Gedung Proklamasi harus dibongkar dan lahannya dijadikan bagian dari taman yang di tengah-tengahnya menjulang Tugu Proklamasi setinggi 17 meter, yang rencananya akan terbuat dari perunggu. Dikatakan pula, Tugu Proklamasi yang lama, yang sudah berdiri di sana sejak tahun 1946, harus ikut dibongkar untuk digantikan dengan Tugu Proklamasi ”yang sebenarnya”.
Tugu lama yang dimaksud adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia yang dibangun atas prakarsa Jo Masdani dan para perempuan lain perintis kemerdekaan, seperti Maria Ulfah dan Setyati. Mereka memprotes gagasan pembongkaran tugu yang dianggap sebagai lambang darma bakti wanita Indonesia itu. Namun, Presiden Soekarno tak pernah membalas surat protes yang dikirim Jo Masdani dan kawan-kawan.
Bung Karno bersikukuh pada keputusan untuk membongkar Gedung Proklamasi. Katanya, di bekas lokasinya akan dibangun gedung yang indah dan megah, sesuai dengan martabat bangsa Indonesia yang besar. Secara lisan, ia pun memerintahkan Gubernur Sumarmo membongkar gedung Pegangsaan Timur 56 dan Tugu Peringatan Proklamasi. Keduanya sudah harus rata dengan tanah sebelum tanggal 1 Januari 1961.
Setelah Gubernur Sumarmo melaksanakan perintah lisan tersebut, di tempat itu Bung Karno pada 1 Januari 1961 meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Proklamasi, yang lalu dikenal warga Jakarta sebagai Tugu Petir. Tak seperti dibayangkan sebelumnya, tugu itu tak bisa dibilang indah. Hanya berbentuk tiang bulat tinggi yang di puncaknya bertengger lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di bawah tugu itu kemudian dicantumkan tulisan: ”Di sinilah Dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung karno dan Bung Hatta”.
Beberapa puluh meter di belakang Tugu Petir lalu dibangun gedung berlantai enam yang arsitekturnya terkesan biasa-biasa saja. Pembangunan gedung itu dimaksud sebagai tanda dimulainya pelaksanaan program ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Warga Ibu Kota mengenalnya sebagai Gedung Pola, yang kini menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan.
Gedung Proklamasi yang bersejarah musnah sudah. Keasrian tamannya yang luas pun ikut terkubur dengan dibangunnya Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta. Monumen megah yang diresmikan Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1980 itu menjadi struktur paling mencolok di atas lahan bekas tempat tinggal Bung Karno itu.
Satu-satunya monumen yang masih terkait langsung dengan zaman revolusi adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia. Setelah ikut jadi korban Bung Karno, monumen sejarah itu dibangun kembali di zaman Gubernur Ali Sadikin dan diresmikan pada 17 Agustus 1972.
Sulit dipahami
Sulit dipahami kenapa Bung Karno tega menghancurkan rumah bekas tempat tinggalnya sendiri, yang seharusnya juga menjadi bangunan paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Presiden pertama RI itu dikenal sebagai tokoh yang menghargai sejarah. Siapa tak kenal pada ucapannya ”jangan sekali-kali melupakan sejarah”, yang sering disingkat jadi jasmerah.
Sampai wafatnya, Juni 1970, Bung Karno tidak pernah menjelaskan apa alasan yang mendorongnya untuk membongkar gedung di Jalan Pegangsaan Timur 56. Namun, astronom senior, Bambang Hidayat, mengatakan, penghancuran Gedung Proklamasi dilakukan Bung Karno mungkin akibat bujukan kaum ”kiri” yang ingin menggantinya dengan bangunan lain yang lebih sosialistis. Hal itu ia dengar dari Komandan Seskoad Jenderal Soewarto saat berceramah di Institut Teknologi Bandung, akhir Oktober 1965, sebulan setelah peristiwa G30S. ”Saya tidak tahu kebenarannya, tetapi memang waktu itu merupakan periode untuk menenggelamkan karakter Soekarno,” tutur Bambang yang pensiunan guru besar ITB.
Dalam buku Sejarah Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga disebutkan, pembongkaran tugu itu—dan juga Gedung Proklamasi—berkaitan dengan maksud PKI untuk menghilangkan bukti-bukti peninggalan sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengganti tanggal 17 Agustus 1945 dengan tanggal 1 Oktober 1965 jika mereka berhasil merebut kekuasaan lewat kudeta.
Sayang, kebenaran cerita ini pun belum dapat dipastikan. Dengan begitu, alasan sesungguhnya dari pembongkaran Gedung Proklamasi masih tetap menjadi misteri sampai saat ini, delapan windu setelah Dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. (MULYAWAN KARIM)
Sumber : http://www.eryevolutions.co.cc/2010/08/masa-lalu-misteri-pembongkaran-gedung.html