Hari ini Gokiel Abiez berkata mengenai":
Dahulu kala, Sebelum peradaban hindu kuno sekitar abad ke -2. Kerajaan Wonosobo dihuni 2793 penduduk yang tersebar dari ujung wadaskeras hingga bumi khayangan utara.
Pepohonan rimbun membentuk hamparan hutan belantara, didalamnya dihuni beraneka jenis burung dan binatang buas. Pada pagi dan sore hari, sepoi angin menggoyang-goyangkan rumput ilalang, udara dingin menusuk sum-sum tulang, juga aneka suara merdu siul burung disela-sela ranting pepohonan.
Bunga-bunga bermekaran dengan taburan kupu-kupu nan indah, beraneka jenis kumbang lain berterbangan diatasnya. Sebuah pemandangan maha dahsyat dialam pegunungan Kerajaan Wonosobo.
Sedangkan penduduk setempat hidup dalam kemakmuran, hasil bumi yang subur berupa sayur mayur, buah-buahan dan binatang buruan. Waktu itu tak ada perselisihan semua penduduk hidup penuh dengan keakraban, bahu-membahu antara satu dengan yang lainya.
Di sebuah dukuh kecil, tinggalah sepasang suami istri bernama Ki Brotowali dan Nyi Adem Sari. Dengan gubug kecil terbuat dari ranting pohon, beratapkan dedaunan kering dan berlantai semak-semak belukar, Ki Brotowali dan Nyi Adem Sari hidup penuh dengan kebahagiaan.
Singkat cerita .......
Malam bulan purnama penuh, bertepat 1 tahun runtuhnya kerajaan Trontonnata. Ki Brotowali dan Nyi Adem Sari dikaruniai seorang putra. Bukanya kebahagiaan yang didapat, melainkan ketakutan dan kecemasan yang dirasakan.
Anak yang lahir beda dari biasanya, wajahnya terlihat imut-imut, dengan kumis tebal disekitar area mulut dan hidung, anehnya lagi sebuah tato bergambar binatang Kecoa ada disebelah bahu kiri, yang lebih mengherankan waktu kelahiran putra pertama, bukanya menangis seperti bayi pada umumnya melainkan sebuah senyum diselingi ketawa kecil dan diakhiri suara petir "Lantang, menyambar-nyambar dari langit". Karena ketakutan yang begitu mendalam, Ki Brotowali dan Nyi Adem Sari akhirnya meninggal dunia.
Berita kelahiran bayi ajaib pasangan Ki Brotowali dan Nyi Adem Sari, sempat menggegerkan penduduk Kerajaan Wonosobo. "Tukidie, salah seorang warga setempat saat dihubungi KAMPRET NEWS menuturkan, Masyarakat setempat merasa resah dengan kelahiran bayi ajaib yang membuat kedua orang tuanya meninggal dunia, hingga saat ini terjadi demonstran besar-besaran. Ujarnya lagi, Warga setempat menuntut kepada Kerajaan agar bayi ajaib dibuang kedalam sungai serayu.
Eyang Empu adalah Raja ke -8 di Kerajaan wonosobo, beliau termasuk seorang yang bijak, sakti mandraguna, juga disegani rakyatnya. Tuntutan rakyatnya yang kian hari kian berkobar-kobar, bahkan ada yang mogok makan membuat Eyang Empu tak bisa berdiam diri.
Hari Kedua, Kelahiran Bayi Ajaib.
Eyang Empu, memutuskan mengadakan rapat darurat yang dihadiri sesepuh kerajaan Wonosobo dan dewan kehormatan dari berbagai kerajaan di dunia. Dalam rapat tersebut terjadi perdebatan hebat, hampir saja menumpahkan darah. Dari kubu A tetap menginginkan agar bayi ajaib dibuang kedalam sungai serayu, dengan alasan karena setiap aspriasi rakyatnya harus di penuhi. Sedangkan kubu B, tidak setuju dengan alasan kemanusiaan.
Jika keadaanya begini terus, kita tidak dapat menyelesaikan persoalan yang ada. Sebaiknya kita melakukan jajak pendapat. "kata Eyang Empu dengan muka merah padam, matanya terlihat bengis tapi wajahnya tetap manis".
Bersambung ...xixixi
Sumber : http://wonosobocommunity.blogspot.com/2010/07/kelahiran-bayi-ajaib.html