DUEL klasik hari Minggu (27/6) lalu antara Jerman dan Inggris bukan cuma sekadar pertarungan untuk penentuan tim ke perdelapan final. Lebih dari itu, laga yang digelar di kota Bloemfontein ini juga mempresentasikan perbedaan ideologi dan kultur antara dua negara besar sepak bola, yang selalu menjadi rival abadi di berbagai turnamen besar internasional. Pertanyaannya kemudian, mengapa Jerman lebih superior?
Sejak takluk dari Jerman Barat di semifinal Piala Dunia 1990 di Italia, sepak bola Inggris mengalami revolusi komersial yang membuat Liga Primer menjadi yang terkaya di dunia.
Ini terjadi setelah kontrol manajemen aset klub diserahkan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) ke pengelola Liga Inggris pada 1992. Pengelola Liga Inggris juga membuat aturan kepemilikan klub yang lebih longgar sehingga memungkinkan para miliarder asing berinvestasi dan menjadi pemilik klub baru.
Dengan suntikan dana segar, klub-klub Inggris leluasa membeli dan menggaji tinggi pemain asing yang menjadi bintang klub. Tak heran jika prestasi klub-klub Inggris ikut terangkat dan terbukti prestasinya paling konsisten di ajang Liga Champions dalam satu dekade terakhir.
Hadirnya pemain-pemain asing benar-benar menjadikan kompetisi Liga Inggris menjadi menarik. Premiership pun dikemas menjadi sebuah industri hiburan. Klub-klub berlomba membangun stadion baru dan FA menikmati pendapatan besar dari hak siar televisi.
Panggung bagi asing
Namun, ironisnya, pada saat bersamaan, kondisi tim nasional Inggris justru terus terpuruk. Tampaknya keglamoran Liga Inggris yang lebih memberi panggung bagi pemain asing berdampak negatif pada kesehatan timnas Inggris.
Di lain pihak, tim Jerman justru tampak semakin kuat. Meski sejak tahun 1990 Jerman tidak pernah lagi menjuarai Piala Dunia, mereka masih tampil konsisten. Minimal hasil terburuk mereka sampai di delapan besar.
Di turnamen lain, timnas Jerman juga berbicara banyak. Tahun 1996, mereka juara Eropa di tanah Inggris. Di Euro 2008, mereka juga mencapai final sebelum kalah dari Spanyol 0-1.
Di level yunior, timnas Jerman juga unjuk prestasi. Timnas U-19 Jerman juara di kejuaraan Eropa 2009. Baru-baru ini, timnas U-21 mereka juga tampil sebagai juara di kejuaraan Eropa.
Di Bundesliga
Sama dengan negara Eropa lainnya, kualitas tim Jerman juga tidak lepas dari kualitas liganya. Liga Jerman atau Bundesliga termasuk salah satu liga terkaya di Eropa. Meski masih kalah dengan Liga Inggris, Bundesliga punya nilai investasi hingga 500 juta poundsterling.
Dari total uang tersebut, sekitar 20 juta poundsterling dipakai untuk membangun sistem akademi pemain muda yang melibatkan 18 klub. Dibandingkan dengan Liga Inggris, pendekatan aturan pengelolaan finansial dan kepemilikan klub di Liga Jerman lebih ketat. Tidak ada seseorang atau entitas yang bisa memiliki lebih dari 49 persen saham klub.
Selain itu, ada aturan lain yang menetapkan, 51 persen saham klub harus dimiliki anggota klub. Tingkat utang klub juga dibatasi hanya boleh mencapai 30 juta poundsterling. Bandingkan dengan Inggris yang mencapai 3,3 miliar poundsterling. Klub juga tidak boleh mengagunkan asetnya untuk memperoleh pinjaman.
Semua kebijakan ini dimaksudkan agar klub terhindar dari kebangkrutan atau sewaktu-waktu dijual pemilik klub yang hanya memikirkan investasinya aman di klub. Kata kuncinya, keberadaan klub harus bertahan atau berkelanjutan. Tanpa klub, tak ada pembinaan pemain dan bahkan kompetisi juga bisa terancam sehingga muaranya ke timnas. Karena itu, Federasi Sepak bola Jerman (Deutscher Fussball Bund/DFB) tetap mengontrol keuangan klub dengan ketat. Kekuasaan ini tidak diserahkan ke pengelola liga.
Membangun tim
Dengan adanya keseimbangan dan pembagian kewenangan antara DFB dan Bundesliga, memungkinkan keduanya untuk menempatkan kepentingan yang lebih luas dari sekadar kompetisi liga. Mereka akhirnya bisa jauh memikirkan program yang lebih tinggi, yakni bagaimana membangun skuad timnas yang kuat.
Sebagai contoh, DFB dan Bundesliga sangat peduli dengan jumlah pemain lokal yang ada di setiap klub. Mereka mewajibkan klub memakai minimal 12 pemain lokal dari 25 pemain yang didaftarkan untuk kompetisi. Kondisi ini berbeda dengan Inggris yang hanya mewajibkan delapan pemain lokal dari 25 pemain yang didaftarkan untuk kompetisi. Apa yang diterapkan Inggris sesuai standar UEFA, tetapi akhirnya kebijakan itu tidak memberikan kesempatan yang luas bagi pemain lokal.
Dalam satu dekade terakhir, sistem akademi sepak bola Jerman rata-rata mendidik 5.000 pemain usia 12-18 tahun setiap tahunnya. Sistem ini ternyata memberi konsekuensi peningkatan jumlah pemain Jerman yang usianya di bawah 23 tahun yang bermain di kompetisi reguler Bundesliga, yakni sekitar 15 persen atau naik 6 persen dibandingkan dengan dekade sebelumnya.
Kondisi inilah yang terefleksikan pada timnas Jerman yang berlaga di Afrika Selatan. Tim ini merupakan tim yang terdiri atas pemain-pemain paling muda dari tim-tim Jerman sebelumnya di Piala Dunia, sejak 1934. Rata-rata pemain di tim Jerman sekarang berusia 25 tahun. Bandingkan dengan tim Inggris yang rata-rata usia pemainnya 28 tahun. Tim Inggris ini bahkan menjadi tim dengan rata-rata usia pemain tertua, dari tim-tim Inggris sebelumnya.
Sekretaris Jenderal DFB Wolfgang Niersbach dalam wawancara dengan BBC mengungkapkan, kunci keberhasilan Jerman memang dimulai kerja sama yang baik antara DFB dan Bundesliga. Semuanya berawal dari klub, sebelum bicara membangun timnas.
”Itu sebabnya kami selalu bekerja sama dan tentu saja selalu ada diskusi. Namun, di akhir semua itu kami selalu berupaya membuat keputusan yang benar untuk klub yang ujung-ujungnya juga untuk kepentingan timnas Jerman,” kata Niersbach.
Legenda Jerman, Franz Beckenbauer, mengatakan, kurangnya istirahat salah satu alasan mengapa Inggris tampak ”terbakar habis”. Inggris kini saatnya evaluasi. (Gatot Widakdo)
Sumber : kompas.com