VIVAnews - Seorang pria termenung di beranda sebuah rumah di New Addington, sebuah kota yang dibentengi oleh pedesaan di sekitar London selatan. Tubuhnya terbalut aroma alkohol. Gigi-geliginya lengket oleh opium. Kedua lengannya tersaput darah serta angin Februari yang basah dan menyisakan gigil.
“Ya, yang di dalam itu istriku. Aku telah membunuhnya,” katanya setengah bergumam. Seperti diberitakan oleh situs berita Independent pada tanggal 17 Oktober 2008--hari ketika si lelaki divonis hukuman seumur hidup--suami penuh cemburu bernama Wayne Forrester itu membunuh istrinya karena sebuah posting di situs jejaring sosial Facebook.
Menurut pengakuan Wayne kepada polisi, hatinya hancur ketika memergoki sang istri mengubah status dirinya menjadi ‘lajang.’ “Aku cinta Emma dan sungguh merasa hancur sekaligus malu atas apa yang telah ia lakukan,” katanya.
Nona Belomesoff, seorang gadis Australia berusia 18 tahun, juga menerima “kutuk” serupa. Hari celaka bagi Nona bermula ketika ia menyetujui permintaan pertemanan yang dilayangkan Christopher James Dannevig, 20, melalui Facebook pada suatu hari di bulan Mei. Kala itu, Nona sedang mengambil studi tentang binatang dan jatuh girang ketika sang pria asing menawarinya bekerja di WIRES, sebuah institusi yang mendedikasikan diri pada kelangsungan hidup hewan.
Adik Nona, Gary, seperti dikutip Sydney Morning Herald, menyatakan bahwa kakak perempuannya itu “menyukai binatang dan merasa kesempatan yang ditawarkan kepadanya merupakan peluang untuk mewujudkan impiannya.”
Tapi hasrat menggebu untuk mengejar harapan itu malah mengantar Nona ke sang maut. Polisi menemukan jasadnya di tepian sebuah anak sungai pada hari Jumat, 14 Mei 2010. Sebelumnya, Nona berpamitan kepada keluarganya untuk pergi berkemah dengan pecinta binatang lain atas ajakan Dannevig. “Nona bilang dia tak mau kehilangan kesempatan untuk bekerja. Jadi, dia pergi begitu saja. Itu adalah kali terakhir kami melihatnya,” kata Gary.
Dua cerita di atas cuma sedikit ilustrasi dari sekian banyak petaka yang dipicu oleh persinggungan dengan dunia maya, khususnya Facebook. Semakin popularitasnya meroket, situs jejaring sosial yang disempurnakan oleh Mark Elliot Zuckerberg, 26, ini semakin menuai aneka gugatan dari beragam kelompok. Salah satunya menyangkut masalah keamanan informasi pribadi penggunanya.
Tengoklah apa yang kini ramai di Australia.
Gerakan QuitFacebookDay diuarkan dari Negeri Kangguru sebagai pernyataan sikap atas pembunuhan yang menimpa Nona. "Facebook memberi kita pilihan untuk mengatur informasi yang ingin kita tampilkan, tapi mereka tak menyediakan pilihan yang adil. Ketika kita ingin menggunakannya, Facebook membuat pengaturan itu sangat sulit dimengerti rata-rata pengguna," laman QuitFacebookDay.com menyatakan. Polisi Australia bahkan telah mengimbau remaja dan anak-anak untuk tidak memajang foto mereka.
Publik juga marah karena kini pihak ketiga dimungkinkan untuk melihat dan menyimpan profil Facebook pengunjung.
"Ini serius. Informasi Anda serta lima miliar orang lain di dunia menyebar,” kata David Vaile, Wakil Ketua Australian Privacy Foundation (APF), kepada News.com.au.
Tidak hanya masalah privasi, Facebook juga mulai dicela karena memberi kemungkinan bagi kelompok tertentu untuk mengorganisir penghinaan sistematis dan masif bagi kelompok lain. Satu contoh ekstrim adalah fan page berlabel “Everybody Draw Muhammad Day” yang muncul belum lama ini.
Fan page itu dibuat John Wellington, seorang pendengar radio yang kesal setelah mendengar pernyataan kekecewaan Molly Norris, seorang kartunis dari Seattle, AS, atas keputusan distributor film Comedy Central untuk menyensor sosok Nabi Muhammad di film kartun termasyhur, South Park. Dalam waktu kurang dari seminggu, fan page itu mampu menggaet 6.000 penggemar.
Dunia muslim tercengang dibuatnya. Reaksi paling keras datang dari Pakistan. Ribuan warganya menyesaki jalan pada tanggal 21 Mei lalu untuk menggelar protes. Otoritas Telekomunikasi Pakistan memblokir akses ke Facebook, YouTube, serta ratusan lain yang berisi materi penghinaan agama. Indonesia bertindak lebih arif. Departemen Komunikasi dan Informasi hanya memblokir akses menuju fan page sinting itu.
Berbagai kasus di atas mengandaikan bahwa pihak yang paling bersalah adalah Facebook. Benarkah?
Nukman Luthfi, seorang pengamat media sosial, menulis dalam blognya sudutpandang.com bahwa, “Facebook adalah medium. Tanpa ada yang menyalahgunakannya, medium itu bersifat netral.” Nukman beribarat Facebook tak ubahnya seperti pisau. Itu bisa digunakan untuk menyembelih ayam sekaligus menggorok leher manusia. (kd)
Sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/154053-ketika_facebook_membawa_kutuk